#KodeNusantaraBeritaBlog

MENGUPAS GELIAT THAK-THAKAN

Ditulis oleh: Buntas Pradoto

Topeng adalah benda yang dipakai menutupi wajah sebagai penokohan didalam suatu pertunjukan, biasanya topeng sering dipakai seorang penari untuk memperankan tokoh tertentu. Topeng di kesenian daerah umumnya untuk menghormati sesembahan atau memperjelas watak dalam mengiringi kesenian, cara penerapannya juga beraneka ragam ada diwajah dan ada pula diatas wajah. Bentuk topeng bermacam-macam ada yang menggambarkan watak marah, ada yang menggambarkan lembut, dan adapula yang menggambarkan kebijaksanaan. Dari penggambaran karakter masing-masing tokoh tersebut, juga sebagai penanda tokoh antara baik dan buruk, serta status sosial dalam ceritanya. Topeng telah menjadi salah satu bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan peradaban manusia. Pada bagian besar masyarakat dunia, topeng memegang peranan penting dalam berbagai sisi kehidupan yang menyimpan nilai-nilai magis dan suci. Ini karena peranan topeng yang besar sebagai simbol-simbol khusus dalam berbagai upacara dan kegiatan adat yang luhur. Kehidupan masyarakat modern saat ini menempatkan topeng sebagai salah satu bentuk karya seni tinggi. Tidak hanya karena keindahan estetis yang dimilikinya, tetapi sisi misteri yang tersimpan pada raut wajah topeng tetap mampu memancarkan kekuatan magis yang sulit dijelaskan.

Barongan adalah figur salah satu jenis topeng dalam mitologi Bali dan Jawa, penampilannya digambarkan dalam berbagai bentuk samaran seperti binatang, dan yang terpopuler serta dipuja dari semuanya adalah figur makhluk berkaki empat atau berkaki dua dengan kepala singa. Figur barongan mulai dikenal di Bali dan di bagian timur Jawa pada saat sebagian besar populasi di pulau-pulau ini masih menganut keyakinan animisme. Kepala singa menjadi pilihan bentuk utama barongan, karena diyakini singa sebagai raja hutan. Karakternya sebagai penguasa dan penjaga, barongan yang mayoritas secara bentuk mengadopsi kepala singa diposisikan sebagai simbol tokoh utama dalam pertunjukan tersebut. Ada hal yang menarik ketika menjumpai pertunjukan barongan di bagian timur Jawa tampak jelas manifestasi kepala singa cenderung mengarah ke bentuk kepala harimau. Daya imajinasi ini muncul kemungkinan bisa terjadi dikarenakan pengetahuan masyarakat lokal hewan penguasa hutan di Jawa adalah harimau. Keanekaragaman jenis barongan di Jawa berkembang sesuai kultur kedaerahan, seperti di Ponorogo dengan khas Reognya yang mempunyai ciri khusus barongan berkepala harimau dengan bagian atasnya terdapat burung merak atau dikenal istilah dadak merak. Akan beda lagi ketika menjumpai di Tulungagung bentuk barongan yang cenderung adaptasi dari kepala naga dengan bagian atas kepalanya atau irah-irahan seperti mahkota, sangatlah sesuai perannya dalam cerita sebagai tokoh utama yang berkomunikasi gerak dengan jaranan Sentherewe. Perbedaan itu juga tampak jelas pula barongan yang berkembang di Kabupaten Tuban khususnya di daerah Kecamatan Tambakboyo.

Dalam penelusuran penulis, ada 12 kelompok kesenian yang masih menjaga ekosistem barongan tersebut. Meliputi Desa Tambakboyo, Kenanti, Klutuk, Sobontoro, Dasin, Pulogede, Cokrowati, dan Belikanget, serta masih banyak barongan tersebut belum terdata sebagai paguyuban melainkan kelompok bermain anak-anak dibeberapa desa yang tersebar di wilayah Kecamatan Tambakboyo. Selain bentuk topengnya ada ciri khusus pertanda kelokalan setempat adalah pada penamaan atau istilah yang berkembang dimasyarakat bukanlah barongan melainkan Thak-Thakan. Istilah ini diambil dari bunyi yang keluar dari mulut topeng tokoh utama ketika dimainkan. Secara bentuk jauh berbeda dengan barongan pada umumnya yang cenderung mudah dimengerti simbol kepala hewan tertentu dengan sentuhan artistik baik dari pewarnaan maupun unsur ragam hiasnya. Disisi lain kalau Thak-Thakan lebih terlihat sederhana dalam tehnik ukir dan pewarnaannya, serta ada multitafsir antara deformasi dari bentuk kepala harimau atau naga yang menjadi layak untuk diperbincangkan. Dalam memainkanpun tidak dengan kekuatan gigi dan leher melainkan kekuatan tangan dengan dua sampai tiga orang pemain yang saling bergantian ketika lelah atau disaat yang memegang bagian kepala mengalami kerasukan. Keunikan juga tampak ada beberapa bentuk ekor Thak-Thakan tidak menyerupai bentuk ekor hewan semestinya, karena paling ujung diterapkan bendera sang merah putih. Maka tak heran dari visual inilah, menjadi daya tawar akan esensi warisan budaya lokal dalam pertunjukan tersebut. Apalagi diperkuat dengan tokoh-tokoh topeng yang lain seperti Kirek Kikek sebagai simbol anjing hutan, karena ukuran anjing  itu kecil memainkannya tidak dipakai diwajah melainkan posisinya di bagian perut pemain. Karakternya yang jahil dan atraktif memancing aksi Thak-Thakan kian menakjubkan sampai penonton terhipnotis ikut bersorak. Tokoh antagonis dalam kesenian ini disimbolkan dengan adanya beberapa topeng Gendruwo dan beberapa Wewe Gombel dengan pakaian khas karung goni serta membawa sebilah pedang. Pemilihan pola bentuk mata dari keempat tokoh topeng tersebut berbentuk bulat dan berbahan kaca, sangat tampak menyeramkan ketika memantulkan cahaya dari sinar matahari. Suasana kesakralanpun juga tercipta dari energi iringan musik yang dimainkan, dengan intrument kendang, dua bilah bonang, dan gong suwukan. Penampilan perwujudan sosok bentuk hewan dan beberapa sosok makhluk astral dalam satu rangkaian cerita dalam pertunjukan Thak-Thakan tersebut, menjadi pesona kesenian lokal yang mempunyai daya pikat tersendiri.

Dari beberapa pendapat narasumber, keberadaan kesenian Thak-Thakan di wilayah Tambakboyo berkembang sekitar tahun 60an, diawali dari keluarga besar Mbah Dikan atau yang terkenal dengan sebutan Thak-Thakan Bledug Kenanti. Kata bledug diambil dari istilah Jawa yaitu debu yang sangat banyak, debu ini muncul karena gerakan Thak-Thakan ketika ndadi atau kerasukan yang atraktif membuat tanah sebagai pijakannya menjadi berdebu, dan istilah Kenanti sendiri diambil dari desa mereka tinggal. Seni pertunjukan Thak-Thakan biasanya dipentaskan dalam format kirab atau arak-arakan disaat kegiatan karnaval HUT Rapublik Indonesia. Dari nomor urut yang selalu ada paling belakang membuat masyarakat tetap menunggu kehadirannya, walaupun masih banyak yang mempunyai rasa takut ketika melihat tokoh-tokoh dari pertunjukan Thak-Thakan. Namun ini menjadi daya tarik penonton untuk ketagihan menikmatinya, sering pula penonton melihat topeng yang digunakan sebagai properti utama bergerak sendiri dan lepas dari orang yang memainkannya. Memang tidak bisa dipungkiri unsur mistis tersebut dilatar belakangi dari sebelum kirab beberapa kelompok Thak-Thakan masih ada yang menggelar upacara ritual. Seperti slametan, membakar kemenyan sebagai sarana memanjatkan doa atau mantra yang juga ada ikatan spritual penghormatan kepada Danyang atau cikal bakal daerah setempat. Prosesi seperti ini tidak lupa pula mengoleskan minyak wangi Srimpi pada hidung topeng, dan ada simbol lain ciri khas Thak-Thakan Bledug Kenanti bagian tertentu rambut topengnya diikat dengan janur kuning. Dalam konteks pemahaman kejawen janur bisa diartikan sejatine nur atau cahaya illahi dimana ada kepercayaan lokal sebagai tolak balak tentang gangguan gaib.Ternyata nilai kearifan lokal bukan hanya ini saja, beberapa hari sebelum dipentaskannya juga ada prosesi nyetrekno atau menaruh topeng di tempat bertuah seperti sendang dan makam kramat. Seperti Thak-Thakannya mbah Timbang dari Desa Klutuk yang dikenal dengan sebutan Thak-Thakan Sendang Budoyo. Beliau ini menaruh topeng-topengnya pada hari tertentu sebelum pentas di lokasi sendang desa tersebut, sampai pada sebelum berangkat kirab mengadakan brokohan atau doa bersama dengan disiapkannya kupat, lepet, jajan pasar, dan sesaji lainnya. Karakter seni tradisi inilah terkadang ada penonton yang lagi menggendong anaknya mengalami kejadian sawanen atau anak kecil menangis dimalam hari yang secara terus menerus tidak terdiam setelah menonton pertunjukan tersebut. Keyakinan masyarakat setempat agar anak kecil itu berhenti menangis dengan cara meminta sehelai rambut Thak-Thakan kepada pemilik atau pawangnya untuk diusapkannya di bagian batuk anak tersebut, dan alhasil beberapa waktu kemudian juga bisa terdiam.

Peristiwa berkesenian yang sulit dirasionalkan ketika ketua paguyuban Thak-Thakan Surolawe dari Dukuh Pasatan, Desa Cokrowati melontarkan pengalaman estetiknya tentang pembuatan salah satu topeng dengan cara meditasi yang dengan sengaja menghadirkan makhluk gaib pada sebuah cermin untuk dijadikan objeknya. Namun tidak semuanya Thak-Thakan itu sebagai ungkapan mistis, ada pula tokoh-tokoh pemuda pegiat seni pertunjukan Thak-Thakan yang mengedepankan estetika bentuk topeng, pengembangan tehnik mewarnai dengan metode airbrush, adegan yang terkonsep, dan olah gerak yang tertata. Keberadaan Thak-Thakan ini di Desa Belikanget dengan nama Gembong Singolawe, dari sini bisa diambil benang merah bahwa pertunjukan yang berbasis kearifan lokal masih banyak digandrungi. Ditemukan pula di Desa Sotang, ada dua komunitas yang masih bergaung itupun penggeraknya juga para pemuda. Menjamurnya kesenian ini tampak ada anak-anak kecil di Desa Sobontoro saat hari libur sekolah terkadang juga terlihat bergerombol saling bergantian untuk bermain Thak-Thakan. Fenomena inilah menjadi jejak warisan budaya yang berkembang menjadi identitas keberagaman kesenian di Kabupaten Tuban.

Pesan penulis, ada edukasi yang bisa diambil dari kirab Thak-Thakan disaat karnaval agustusan ada aturan peserta umum posisi barisan paling belakang, sesudah barisan dari lembaga pendidikan yang biasanya tema kerajaan, karnival dan lain sebagainya. Secara penampilan dari kostum, make up, properti, jauh lebih keren dari pada Thak-Thakan. Menurut penulis ini bisa dimaknai tentang perbedaan kasta atau status sosial masyarakat, tetapi kenyataannya antusias penonton untuk tetap menunggu dan menikmati Thak-Thakan sangatlah luar biasa. Ada hal baik yang bisa dipetik, bahwa tidak harus didepan untuk menjadi sesuatu dan berbuat, namun bagaimana keberadaan dan kehadiran kita selalu diharapkan dalam sosial bermasyarakat. Menilai karya senipun tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang estetika visual yang apik semata. Namun ada sisi-sisi getaran rasa lainnya yang perlu dipertimbangkan.

Harapan penulis, paparan sederhana ini bisa menjadi pematik untuk lembaga, akedemisi, dan penulis ikut andil pengembangan penulisan tentang seni pertunjukan Thak-Thakan sebagai pembendaharaan literasi seni kerakyatan Indonesia.

Salam Santun: Barisan Mburi Kudu Ndadi..!!

Artikel Sebelumnya

Press Release Webtoon 'Sandi Nusantara'

Artikel Selanjutnya

From “Mancanegara”, Back to “Tanah Air”, Tobatenun Unjuk Gigi di Adiwastra Nusantara 2022

Tidak Ada Komentar

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.