#DanauToba#KodeNusantaraBlog

Legenda Putri Bidadari Si Boru Natumandi Hutabarat

Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang ramai dikunjungi bukan hanya karena ibu kotanya, Medan, salah satu dari lima kota terbesar di Indonesia, namun juga karena kekentalan adat dan budaya penduduk aslinya. Provinsi yang dihuni oleh berbagai etnis ini tentu saja menarik minat khalayak ramai untuk mengenal adat, budaya, sejarah, serta panorama yang terbentang di sana. Jika berbicara tentang cerita rakyat di Indonesia tentu tidak akan pernah habis untuk dibahas. Salah satu cerita rakyat dari Sumatera Utara berikut sangat terkenal, yaitu Putri Bidadari Si Boru Natumandi Hutabarat.

Sebenarnya banyak sekali versi untuk cerita rakyat ini, belum ada pembenaran mengenai versi mana yang benar atau sesuai dengan kisah yang sudah ada.

Kisah ini adalah legenda masyarakat Batak yang hidup di Tapanuli Utara. Kisah ini sudah berkembang ratusan tahun silam, tentang Si Boru Natumandi atau biasa disebut Si Boru Tumandi. Menurut cerita nenek moyang, Si Boru Tumandi adalah putri dari Raja Hutabarat. Tercatat sekitar abad ke 17 itu terjadi. Dia berparas cantik. Kecantikan itu sangat dikenal pada zamannya. Sayang akhirnya putri itu menjadi siluman. Kisah ini terjadi di sekitar Sungai Situmandi. Di sebelah barat lembah inilah Raja Hutabarat tinggal. Dia bersama putrinya yang elok. 

Pada dasarnya, seluruh putri keturunan Hutabarat berparas cantik. Sampai sekarang pun jarang ditemukan boru Hutabarat berparas buruk. Maka legenda ini sangatlah masuk akal, bila boru Tumandi digambarkan sebagai putri yang luar biasa cantiknya. Kecantikan boru Tumandi itu membuat kegoncangan. Para putra Raja pun banyak yang jatuh cinta padanya. Maka Raja Hutabarat membuat bangunan rumah untuk sang putri di tempat yang sangat tinggi. Tangganya terdiri dari pisau panjang yang sangat tajam. Dan putra-putra Raja dari berbagai pelosok negeri yang berhasrat untuk menyunting sang putri jelita ini harus melintasi rintangan itu. Banyak sudah pelamar yang datang. Tapi dia tidak sanggup menaiki tangga pisau itu. Dengan sedih mereka pulang ke negerinya. Ada yang terus bertahan menunggu di bawah rumah sekadar dapat memandang boru Tumandi yang bertenun di atas panggung.

Suatu hari, hari yang ditunggu-tunggu sang Raja tiba. Seorang pelamar sakti datang bersama rombongan. Iring-iringan itu membawa barang bawaan termasuk satu bakul emas murni. Mereka berjalan tidak menginjak tanah. Dan pisau tajam yang menjadi jalan masuk tidak ada artinya bagi mereka. Sang Raja kagum akan kesaktian calon menantunya yang juga sangat rupawan dan gagah perkasa itu. Sang Raja bersuka cita mengumumkan kepada seluruh Raja lainnya bahwa akan segera digelar pesta meriah. Dengan gendang dan tarian selama tujuh hari tujuh malam lamanya, pesta berjalan meriah. Para pengawal sakti dari pihak menantu pun berjaga dengan ketatnya. Tujuh hari berlalu dengan cepatnya, menantu bersama rombongan pamit untuk pulang ke negeri mereka. Rombongan pun dilepas dengan perasaan sedih karena harus berpisah dengan putri satu-satunya. Hari pelepasan telah berlalu, bulan pun berganti. 

Suatu hari Raja Hutabarat kedatangan anak menantu bersama seorang cucu mereka. Hati sang Raja sangat senang. Ia menggendong cucunya penuh kasih seperti tidak mau dilepaskan. Namun kunjungan harus berakhir dan ketiga anak beranak ini pulang kembali menuju negerinya. Hati Raja Hutabarat bersama istrinya kembali dipenuhi kesedihan. Mereka merasa tidak sanggup untuk berpisah. Pada tahun kedua perkawinannya, putri yang cantik ini kembali muncul di negeri Hutabarat bersama suaminya dan dua orang anaknya. Mereka datang minta doa berkah dari kedua orang tuanya. 

Ibunda boru Tumandi minta sesekali ikut bertandang ke rumah menantunya. Namun berbagai alasan sang menantu itu melakukan penolakan. Ini membuat sang mertua gagal untuk turut serta. Tahun keempat Boru Tumandi datang lagi membawa anak yang sudah menjadi tiga orang. Mereka datang berlima. Mereka semua bersuka cita dan mengadakan pesta yang meriah. Tiba saatnya si Boru Tumandi bersama suami dan tiga anaknya pamit pulang. Berat rasanya untuk berpisah. Namun karena menantunya juga seorang Raja di negerinya, maka itu dia tidak bisa dicegah. Ibunda siboru Tumandi tidak tinggal diam. Kembali ibu ini memohon kepada menantunya untuk turut serta menuju negeri di mana putrinya tinggal. Banyak alasan yang dibuat-buat supaya si ibu tidak mereka pulang ke negerinya.

Kunjungan yang ketiga adalah kunjungan terakhir si Boru Tumandi. Itu bermula dari ibunda Boru Tumandi yang bersikukuh ikut serta dalam perjalanan sang putri dan menantunya. “Menantuku, kali ini Ibunda harus ikut ke negerimu. Sudah sekian lama kamu berumah-tangga dan keadaannya baik-baik saja, tapi Ibu tidak mengetahui di mana rumahmu,” ujar Ibunda si Boru Tumandi. “Ibu, kami sangat menyayangi Ibu dan Bapak. Perjalanan kami ini sangatlah berat. Tidak baik bagi Ibu yang sudah berumur ini. Kami pun khawatir akan terjadi hal-hal yang membahayakan keselamatan Ibu. Kami takut itu akan membuat perpisahan selamanya.” kata sang menantu. “Tidak menantuku. Sudah kuputuskan harus ikut bersamamu dan tinggal beberapa lama di sana,” kata Ibunda tetap bertahan dengan keputusannya. Karena Ibu mertuanya memaksa, maka sang menantu tak kuasa untuk menolaknya. Akhirnya si menantu menjawab dengan sedih. Si Boru Tumandi pun meneteskan air mata. Dia paham benar akan apa yang bakal terjadi. “Kalau begitu keputusan Ibu, baiklah, asalkan jangan menyesal di kemudian hari. Bawalah dedak padi sebakul penuh, dan sepanjang jalan taburkanlah dedak itu. Dedak-dedak itu akan menuntun Ibu untuk pulang agar tidak tersasar,” begitu syarat yang diberikan si menantu.

Dan Ibu mertuanya menuruti syarat itu. Setelah bertangis-tangisan, pagi-pagi buta mereka berangkat. Berjalan kaki menyusuri jalanan. Mereka kemudian masuk hutan yang gelap. Perjalanan hening dan mencekam. Masing-masing dipenuhi pikiran kacau. Menjelang lewat tengah hari, sampailah mereka di tepi sungai yang sangat deras airnya. Si Ibu tertegun sejenak, matanya memandang ke sekelilingnya. Mencari barangkali ada jembatan penghubung. Ia bertanya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar. “Masih jauhkah rumahmu anakku?” Sang Putri tidak menjawab. Hanya air matanya yang mengalir semakin deras. Sepanjang hari ditahannya kesedihan yang amat sangat. Dia merasakan hari itu adalah hari terakhir dia bertemu dengan Ibunda tercinta. Juga hari akhir dia melihat Ayahanda yang selalu memanjakannya. Ibundanya menghibur, tetapi belum mengerti makna tangis anaknya itu. Pada saat itulah kaki Si Boru Tumandi melangkah masuk air bersama anak dan suaminya. Pada saat yang sama semuanya berubah menjadi ular yang besar-besar. Sang putri, anak menantunya, juga cucu-cucunya. Mereka semua berubah wujud menjadi ular. 

Sejenak sang Ibunda kebingungan. Dia seperti bermimpi. Ketika sadar, Ibu ini melihat ke kiri dan ke kanan. Hanya ada kesunyian yang mencekam. Di tengah hutan lebat yang gelap dan menakutkan, yang terdengar hanya suara air bergemuruh. Mengalir deras tak berbatas. Ibunda Si Boru Tumandi mulai menjerit histeris. Hanya suara air itu yang terdengar. Sang Ibu pun berlari sekencang-kencangnya mengikuti dedak yang tadi pagi telah ditaburkannya sepanjang jalan. Hari makin gelap. Sampai di rumah, Ibu ini sudah setengah pingsan. Setelah sekian hari, Ibu ini baru dapat menceritakan apa yang disaksikannya. Kisah itu diceritakan pada suami, dan juga sanak saudaranya yang beberapa hari selalu menungguinya. Mendengar itu Raja Hutabarat merasa terpukul. Dia menyesali kesombongan mencari menantu gagah perkasa dan sakti melebihi manusia biasa. Kisah itu membuatnya terkejut.

Akhirnya Raja Hutabarat menggelar ritus. Dia mengumpulkan Raja-raja Hutabarat lainnya untuk mengadakan pesta gondang dan tarian. Ini digelar selama tujuh hari tujuh malam. Untuk memohon belas kasihan Sang Pencipta agar tidak lagi memberikan putri-putri yang sangat cantik kepada Hutabarat. Doa permohonan Raja-raja Hutabarat mendapat jawaban dari Sang Pencipta. Mulai hari itu, di saat permohonan dinaikkan, maka tidak lagi lahir anak-anak gadis dari Hutabarat yang sangat cantik. Walaupun kenyataannya, sampai pada zaman ini keturunan Hutabarat masih terlihat paling prima dibanding yang lain.

Goa Natumandi Hutabarat Tarutung (sumber: Blog)

Si Boru Natumandi, karena kecantikannya, dan karena keinginan Raja Hutabarat, sang Ayah, akhirnya dinikahi mahluk halus. Sampai hari ini, nama itu tetap dikenang di kalangan Hutabarat. Hingga saat ini, sungai tersebut juga masih mengalir. Sungai itu dinamakan Boru Tumandi. Sungai yang tenang dan biasa disebrangi dengan mudah karena tidak dalam. Banyak anak-anak bermain di sana sekadar mencari ikan. Juga para wanita yang mencuci pakaian sambil bercanda. Namun perlu hati-hati. Jangan mencoba tertawa terbahak-bahak di sana.  Itu dipercaya bisa membuat mulut orang yang melakukannya menjadi miring (suing).


Referensi:

Sawitplus.co – Siluman Ular Tanah Batak (1): Si Jelita Putri Raja Hutabarat

Sawitplus.co – Siluman Ular Tanah Batak (2): Dilamar Raja Sakti Berwajah Tampan 

Sawitplus.co – Siluman Ular Tanah Batak (3) : Sang Putri Kawini Siluman Ular

Sawitplus.co – Siluman Ular Tanah Batak (4) : Memohon Tidak Diberi Putri Cantik

PDBI – Legenda Putri Bidadari Si Boru Natumandi Hutabarat dari Sumatera Utara

Artikel Sebelumnya

Pewarna Alami Ulos yang Harus Kamu Ketahui!

Artikel Selanjutnya

Cara Mengisi Weekend dengan Baking Roti Khas Pematangsiantar!

1 Komentar

  1. Andri Munte
    5 July 2021 at 4:33 pm — Reply

    Darimana kah cerita tersebut anda dapat?? Berapa lama anda menelusuri asal usul cerita tersebut?
    Ada yang melenceng cerita nya dari yang saya ketahui.

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.