#KodeNusantaraBlog

Menabuh Gendang dan Gong, Tradisi Menyambut Gerhana Bulan

Warga Indonesia dapat menyaksikan Gerhana Bulan Penumbra pada tanggal 11 Januari besok. Peristiwa ini tentunya menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat untuk menyaksikannya secara langsung. Tapi tahukan kalian jika beberapa suku di Indonesia memiliki tradisi unik saat terjadinya gerhana bulan? Seperti yang terjadi pada masyarakat suku Besi yang tinggal di Beo Wajur, Desa Wajur, Kolang, Kecamatan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hingga tahun 1980-an, suku Besi menyebut gerhana bulan dengan sebutan Weleng Wulang. Hingga tahun tersebut, Bahasa Indonesia belum lazim digunakan, sehingga masyarakat menggunakan Bahasa Manggarai dengan dialek Kolang dalam berkomunikasi. Tradisi Weleng Wulang ini merupakan tradisi masyarakat suku Besi untuk menyambut gerhana bulan dengan kegembiraan. Masyarakat melakukan ritual adat dan melaksanakan tradisi menabuh gendang dan gong di rumah adat kampung setempat.

Semua anggota suku akan berkumpul saat pelaksanaannya dan akan dipimpin oleh seorang kepala suku. Menurut kepercayaan leluhur suku Besi dan suku-suku lain di sekitar Kawasan Kolang, “Weleng Wulang” atau gerhana bulan tidak membawa bahaya bagi warga kampung, melainkan sebagai tanda-tanda datangnya rezeki dalam kehidupan mereka. Weleng Wulang juga dipercaya membawa tanda kebaikan dan keberhasilan dalam mengolah pertanian di kampung.

Wujud tanda-tanda alam tersebut disambut masyarakat dengan melantunkan nyanyian (mbata) sambal menabuh gendang dan memukul gong adat. Dalam bahasa Manggarai dialek Kolang, “Weleng” artinya kehilangan arah jalan, sedangkan “Wulang” artinya bulan. Jadi, secara harafiah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bulan yang sedang kehilangan arah jalan cahayanya. Leluhur suku Besi dan warga di Kawasan Kolang memiliki kebiasaan atau kearifan bahasa lokal untuk menyebut hal-hal yang bisa dilihat oleh mata dengan memberikan nama dalam bahasa lokal setempat. Jadi tidak heran, jika masyarakat menyebut gerhana bulan dengan “Weleng Wulang.”

Weleng Wulang sudah jarang dilaksanakan, salah satu penyebabnya dikarenakan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan global, khususnya ilmu pengetahuan bumi yang terus berkembang pesat. Tidak hanya di daerah Desa Beo Wajur saja, tradisi Weleng Wulang mulai punah, melainkan di desa tetangga seperti di Kampung Nunur, Desa Mbengan, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, tradisi menabuh gong dan gendang saat gerhana bulan ini juga mulai luntur.

Gerhana Bulan Penumbra dapat disaksikan pada Sabtu dini hari, 11 Januari 2020 dari wilayah Indonesia bagian barat, tengah, maupun timur. Durasi fase gerhana mulai (P1) hingga gerhana berakhir (P4) adalah 4 jam 8,7 menit.


Data Terkait:

PDBI – Weleng Wulang

Artikel Sebelumnya

Tradisi “Perang” Masyarakat Sumba yang Penuh Sarat Makna

Artikel Selanjutnya

Panamou, Tradisi Pengasingan Wanita di Pulau Seram

Tidak Ada Komentar

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.