#KodeNusantara#NusaKulinerBlog

Tradisi “Perang” Masyarakat Sumba yang Penuh Sarat Makna

Bagian timur Indonesia, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) memang menjadi buah bibir dengan populernya objek wisata Pulau Komodo yang mendunia. Tidak hanya panorama alamnya saja yang indah, tapi juga adat istiadatnya sangat memukau masyarakat. Salah satu tradisi uniknya adalah Tradisi Perang Pasola di Sumba. Tidak semua perang berakhir dengan pertumpahan darah, setidaknya itulah yang terjadi pada Pasola di Sumba Barat. Masyarakat justru menganggap hal tersebut sebagai bentuk wujud terima kasih dan permohonan kesuburan panen, serta pengabdian dan ketaatan kepada leluhur.

Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola”, yakni sejenis lembing kayu atau tombak yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda. Lalu, kata “pa” dari Pasola memiliki arti saling melempar lembing kayu dari atas kuda. Dalam kepercayaan Marapu –agama asli atau lokal masyarakat Sumba, tradisi Pasola dianggap mampu menjaga keharmonisan antara arwah leluhur nenek moyang dengan manusia. Dari keharmonisan tersebutlah, nantinya Sang Dewa diharapkan memberikan keberkahan dan kemakmuran bagi masyarakat Sumba.

Pelaksanaan Pasola harus didahului dengan tradisi adat “Nyale”, di mana tradisi ini dilakukan untuk mengetahui pada tahun tersebut panen di daerah itu melimpah atau tidak. Jika melimpah, maka bisa dilihat “Nyale” yang melimpah di pesisir pantai. “Nyale” adalah cacing laut yang berwarna-warni. Biasanya “Nyale” ditangkap masyarakat dan dimasak, kemudian dijadikan makanan yang dicampur dengan kelapa. Saat dilaksanakannya “Nyale”, para Rato (pemuka adat Sumba) akan berjalan ke pesisir pantai memanggil “Nyale” agar muncul.  Bila para Rato menemukan banyak “Nyale” yang sehat, gemuk, dan berwarna-warni, tandanya Sang Dewa merestui dan Pasola dapat dilakukan. Namun, bila yang ditemukan kurus dan tidak sehat, maka Pasola tidak bisa dilakukan.

Pasola diadakan di tanah lapang yang luas, layaknya “medan perang”, di mana terdapat 2 kubu dengan masing-masing kudanya. Tiap kubu beranggotakan 50 – 100 orang dan kuda yang ditunggangi adalah Kuda Sandalwood atau Kuda Sandel yang merupakan kuda pacu asli dari Indonesia dan dikembangkan di Pulau Sumba. Peserta yang terdiri dari pemuda gagah ini memegang lembing kayu yang panjangnya 1,5 meter dan berdiameter 1,5 centimeter dan berujung tumpul. Walaupun berujung tumpul, tidak menutup kemungkinan peserta dapat terluka bahkan memakan korban jiwa. Menurut kepercayaan, ketika muncul korban dalam Pasola, maka itu bermakna korban sedang mendapat hukuman dari Dewa karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran. Selain itu, jika ada darah tercucur di tanah, konon darah tersebut bisa kembali menyuburkan tanah.

Peserta yang terkena lembing –jika memungkinkan– dapat membalasnya di arena ini, tetapi jika Pasola sudah usai, sementara peserta masih ingin membalas terjangan tongkat lawan, maka ia harus bersabar untuk menunggu Pasola pada tahun berikutnya. Sebab, Pasola tidak membenarkan untuk mendendam, apalagi melakukan pembalasan di luar arena Pasola.

Setiap bulan Februari hingga Maret, biasanya Pasola diadakan. Tradisi ini dilakukan di 4 tempat yang berbeda secara bergiliran, yaitu Kampung Wonokaka, Kampung Lamboya, Kampung Kodi, dan Kampung Gaura.

Asal-Usul Pasola

Pasola dilaksanakan masyarakat Sumba sejak dahulu. Meski rentang waktunya sangat lama, legenda mengenai asal-usul Pasola cukup jelas. Disebutkan bahwa ribuan tahun yang lalu hiduplah tiga bersaudara dari daerah Waiwuang (sekarang bernama Wanukaka). Salah satu dari mereka bernama Umbu Dula.

Ketiganya berniat untuk mencari padi yang siap panen di desa Masu Karera yang berlokasi di pantai selatan Sumba. Namun kepada warga desanya mereka berbohong dengan mengatakan pergi memancing. Setelah sekian lama, tiga bersaudara yang cukup dikenal ini tak menampakkan diri kembali pulang. Warga desa menjadi panik dan gelisah. Jangan-jangan mereka tersesat atau tewas dimakan binatang buas. Usaha pencarian dilakukan namun selalu sia-sia. Akhirnya mereka menganggap ketiganya telah tewas di perjalanan.

Umbu Dula memiliki seorang istri bernama Rambu Kaba. Sepeninggal suaminya, Rambu Kaba hidup sendiri. Di tengah rasa sepi, seorang pria dari Desa Kodi bernama Tedo Gai Parana meminangnya. Sebetulnya Rambu Kaba masih menyimpan cinta untuk suaminya, namun kesepian membuat dia menerima pinangan tersebut.

Di tengah kebahagiaannya itu Rambu Kana mendapat kejutan. Suaminya bersama kedua saudaranya kembali ke kampung halaman dalam keadaan sehat walafiat. Segera suami istri berlainan desa ini melarikan diri. Tiga bersaudara serta beberapa warga pun mengejar keduanya sampai dapat. Akhirnya di tengah sebuah lembah, persembunyian suami istri yang baru menikah ini ditemukan.

Umbu Dula merasa sangat marah dikhianati oleh istrinya. Keinginannya yang utama adalah membunuh Tedo Gai Parana. Karena rasa persaudaraan yang tinggi dengan Tedo, niat ini disambut oleh warga Kodi seperti genderang perang. Pertempuran antara dua desa ini hampir saja terjadi. Kuda-kuda dan prajurit perang sudah disiapkan. Begitu pula para pemuka agama telah membekali mereka dengan mantra-mantra.

Untunglah, pada detik-detik terakhir Rambu Kana mendapat gagasan untuk mencegah pertumpahan darah. Atas usulannya sendiri, Rambu Kana memilih menjadi istri Tedo Gai Parana, namun Tedo harus menyerahkan sejumlah maskawin kepada Umbu Dula sebagai permohonan izin menikahi Rambu Kana.

Mas kawin itu berupa beberapa kerbau, kuda yang terlatih untuk perang, perhiasan, seperangkat lembing bambu atau sola, dan beberapa pedang. Salah satu mas kawin yang unik adalah nyale, yaitu sejenis cacing laut yang sangat digemari warga Sumba.

Nyale hanya muncul pada bulan-bulan tertentu. Pada penanggalan umum munculnya pada bulan Februari dan Maret. Kelak, pasangan Rambu Kana dan Tedo Gai Parana melahirkan anak-cucu yang akhirnya menjadi nenek moyang masyarakat Sumba. Peristiwa itu menjadi penanda penting yang diabadikan sebagai tradisi turun-temurun sampai kini.


Referensi:

Nasionalisme

Phinemo

Data Terkait:

PDBI – Tradisi Pasola

Artikel Sebelumnya

Penggambaran Dua Sisi Manusia dalam Sebuah Tarian

Artikel Selanjutnya

Menabuh Gendang dan Gong, Tradisi Menyambut Gerhana Bulan

Tidak Ada Komentar

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.