Ceng Beng, Kepercayaan Kehidupan Setelah Kematian
Pernahkah kamu menonton film vampir Cina? Jika iya, pasti kamu sudah tidak asing lagi dengan prosesi pemakaman seseorang yang dikuburkan bersama dengan harta benda seperti uang dan perhiasan. Ya, hal ini bukanlah mitos belaka melainkan memang benar adanya. Masyarakat Cina kuno mempercayai adanya kehidupan setelah kematian yang sangat mirip dengan di dunia. Agar dapat menikmati kehidupan setelah kematian, orang-orang Tionghoa seperti zaman dulu membawa harta bendanya untuk ikut dikuburkan ketika mereka mati. Benda-benda yang biasanya ikut dikubur bersama sang mayat berupa benda kesayangan selama hidupnya yang dapat berupa porselin, benda perunggu yang indah untuk tempat makanan dan minuman, manekin pelayan, lumbung, dan bahkan hewan ternak. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa, tubuh orang meninggal akan ditaruh ke dalam sebuah peti yang terbuat dari kayu dan dihiasai berbagai ukiran dari batu giok atau batu lain yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Selain memercayai tentang kehidupan setelah kematian, prosesi pemakaman bersamaan dengan benda-benda berharga ini juga sarat akan makna strata sosial. Semakin beragam dan mahal barang yang dikuburkan, hal ini juga menunjukkan bahwa orang yang dikuburkan adalah seseorang yang kaya atau berpengaruh semasa hidupnya. Bagi orang-orang penting atau berkuasa, patung besar akan didirikan dan ditempatkan di dekat makam sebagai bentuk penghormatan. Patung-patung ini memiliki beragam bentuk, seperti patung Dewa-Dewi, naga, hewan-hewan mitologi Cina lainnya, hingga patung dari sang mendiang. Pembuatan patung ini mempunyai makna filosofi hidup yang mendalam tentang penggambaran kehidupan setelah kematian di mana hal ini ditujukan untuk mengenang jasa atau kebajikan dari orang yang meninggal tersebut.
Di Indonesia, terdapat tradisi Tionghoa untuk menghormati para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia, mendoakan serta memberikan sesajen bagi arwah leluhur. Namanya Festival Qing Ming atau Qing Ming Jie [清明节] yang lebih dikenal dengan istilah Ceng Beng dalam bahasa Hokkian. Ceng Beng atau Qing Ming sendiri memiliki makna bersih dan terang dan jatuh pada tiap tanggal 4 April. Warga Tionghoa percaya Ceng Beng merupakan hari baik karena cuaca cerah dan bagus serta arwah turun ke bumi. Warga keturunan Tionghoa tersebar di Pulau Bangka, Tangerang, dan lainnya.
Pada saat itu warga Tionghoa beramai-ramai pergi ke pemakaman orang tua, keluarga, serta leluhur untuk melakukan upacara penghormatan. Upacara penghormatan dilakukan melalui berbagai jenis, misalnya saja dengan membersihkan kuburan, menebarkan sampai membakar kertas yang sering dikenal “gincua” atau kertas perak. Saat tiba di kuburan, warga Tionghoa mempersiapkan sejumlah sesajen, seperti hio dan lilin merah untuk dibakar, kemudian membakar kertas yang digambari sebagai uang, menyiapkan jajanan, buah-buahan, kue, permen, kacang, sayuran, serta air mineral. Mereka percaya saat membakar hio dan memberikan sesajen, arwah akan datang dan menikmati sesajen yang dihidangkan.
Praktek pemakaman masyarakat Tionghoa, dalam hal ini upacara ritual dan jenis-jenis barang bawaan yang akan ikut dikubur akan dilihat terlebih dahulu ‘Hong-Shui’ nya. ‘Hong’ yang bermakna gunung dan ‘Shui’ bermakna air, sehingga prosesi pemakaman masyarakat Tionghoa harus memperhitungkan letak dan arah yang strategis berdasarkan arah gunung dan sumber mata air (sungai/laut). Orang Tionghoa percaya bahwa makam yang bagus itu adalah yang bersandar ke arah gunung dan menghadap ke arah mata air.
Orang Cina kuno juga memercayai bahwa jiwa orang yang telah mati memiliki dua komponen utama, yaitu Yin dan Yang. Yin, atau “po” dikaitkan dengan kuburan, sedangkan Yang, atau “hun” dikaitkan dengan hubungan keluarga dan leluhur. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa membangun kuburan yang megah untuk keluarganya sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua atau leluhur yang telah berjasa, sehingga jiwa para leluhur yang sudah mati tidak merasakan penderitaan di alam seberang.
Kebanyakan tradisi masyarakat Tionghoa yang berkaitan dengan kematian didasarkan pada keyakinan yang unik yang didapat dari tradisi desa dan anggota keluarga, tidak terorganisir berdasarkan praktik keagamaan. Tradisi ini sekarang dianggap sebagai “agama rakyat Cina.” Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme semua berkontribusi untuk pengembangan adat istiadat. Konsep agama yang luas seperti keselamatan pribadi atau transformasi hanya memainkan peran kecil dalam praktek Cina kuno tentang kehidupan setelah kematian. Kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian belum bisa dipastikan kebenarannya, namun kita sebagai manusia yang terlahir di tengah keberagaman tradisi dan budaya sudah sewajarnya menghargai dan menghormati kepercayaan yang telah ada berabad-abad tahun yang lalu ini. Kesadaran akan pentingnya toleransi merupakan kunci utama untuk melestarikan tradisi nenek moyang. Bagaimanakah menurutmu?
Sumber:
Data Terkait:
Tidak Ada Komentar