#KodeNusantaraBlog

Cindua Mato, Hikayat Minang tentang Kecerdikan

Tidak hanya kaya akan budaya-budaya yang berbentuk fisik, namun Indonesia juga kaya dengan cerita-cerita rakyatnya. Cerita-cerita tersebut juga dibalut dalam berbagai bentuk sastra. Salah satu bentuk sastra itu adalah hikayat. Hikayat merupakan salah satu karya sastra lama yang berbentuk prosa yang di dalamnya mengisahkan tentang kehidupan dari keluarga istana, kaum bangsawan atau orang-orang ternama dengan segala kehebatan, kesaktian ataupun kepahlawanannya. Dikarenakan prosa yang digunakan berbahasa Melayu, hikayat hanya ditemukan pada suku bangsa di daerah yang terpengaruh oleh kebudayaan Melayu seperti pulau Sumatera dan juga Kalimantan. Minang adalah salah satu suku bangsa yang memiliki banyak hikayat. Salah satunya yang paling terkenal adalah, Hikayat Cinduo Mato.

Berikut adalah sinopsis dari Hikayat Cinduo Mato yang telah diterjemahkan dari Bahasa Melayu:

Cindua Mato dan Dang Tuangku adalah dua sahabat yang tumbuh bersamaan. Dang Tuangku adalah putra pewaris kerajaan Pagaruyuang, sedangkan Cindua Mato tumbuh menjadi kesatria yang kelak menjadi hulubalang di kerajaan sekondannya tersebut.

Beranjak dewasa, keduanya tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan gemar bermain di gelangang. Suatu ketika, keduanya hadir di gelanggang perhelatan Datuk Bandaro. Dang Tuangku hadir mewakili Bundo Kanduang , yang memimipin kerajaan Pagaruyuang masa itu. Saat Dang Tuangku tengah bertemu dengan yang punya helat, Cindua Mato mendengar berita miring tentang tunangan tuannya (Dang Tuangku) akan dipersunting oleh Imbang Jayo.

Dang Tuangku bukan tak mendengar bisik-bisik di gelanggang, Ia pulang dengan marah memuncak. Kabar itu ternyata benar adanya, setelah Bundo Kanduang menerima undangan kenduri Imbang Jayo dan Putri Bungsu, tunangannya.

Cindua Mato kemudian diutus Bundo Kanduang untuk mengantarkan seserahan dan hadiah pernikahan, mengingat anaknya Dang Tuangku tentu tidak mungkin bisa mengantarkan hadiah untuk pernikahan tunangannya sendiri. Dengan berat hati Cindua Mato menaati perintah kerajaan, Ia tak sampai hati akan nasib mandan-nya, Dang Tuangku.

Sampai di pesta pernikahan, Cindua Mato menggunakan ilmunya dan memanipulasi cuaca. Terjadilah badai besar membawa hujan lebat sehingga membanjiri perhelatan tersebut. Momen tersebut digunakan Cindua Mato untuk menculik Putri Bungsu, kemudian dibawa lari ke Pagaruyung.

Tindakan Cindua Mato tentu mengundang peperangan. Benar saja, kemudian Imbang Jayo dan pasukannya datang mengepung Pagaruyuang. Dang Tuangku, yang merencanakan penculikan dari awal pun sudah siap menunggu pasukan perang tersebut.

Terjadilah peperangan antara dua kerajaan tersebut. Singkat cerita, Imbang Jayo tewas dalam gencatan senjata tersebut. Kemudian untuk sama-sama menghindari pertumpahan darah, peperangan akan digantikan dengan duel oleh pendekar masing-masing pihak. Jadilah kemudian Cindua Mato mewakili kerajaan Pagaruyuang berhadapan dengan Tiang Bungkuak.

Naas, kemudian Cindua Mato kalah. Ia harus membayar mahal kekalahannya, Ia kemudian diseret menjadi budak Tiang Bungkuak, Pagaruyuang dibakar habis rata dengan tanah, Dang Tuangku dan Bundo Kanduang lari dari Pagaruyuang.

Menjadi budak ternyata adalah salah satu trik Cindua Mato. Ia sebenarnya ingin mengetahui kelemahan tuannya, Tiang Bungkuak. Benar saja, kemudian, dengan bantuan air sirih penanya, diketahui bahwa satu-satunya senjata yang bisa melukai Tiang Bungkuak adalah keris milik tuannya tersebut.

Saat tuannya tidur, Cindua Mato mencuri keris tersebut. Kemudian menghabisi nyawa Tiang Bungkuak dalam sebuah duel. Kematian Tiang Bungkuak membebaskan status budak yang melekat pada dirinya, sehingga ia bisa kembali ke kerajaan Pagaruyuang.

Hikayat ini pada dasarnya menceritakan bagaimana kecerdikan karakter utama, Cindua Mato, dalam menghadapi masalah yang ia hadapi. Dalam menghadapi masalahnya, ia harus mundur selangkah untuk maju seribu langkah. Hal ini digambarkan pada saat Cindua Mato sengaja mengalah dalam duel agar bisa memata-matai musuhnya dan mencari kelemahannya. Hal ini juga berkaitan dengan pepatah asli Minang, yaitu “Ilak Salangkah, untuak maju saribu langkah” yang berarti mengelak mundur selangkah untuk bisa maju seribu langkah.


Sumber:

  • Firdaus, H. (2017, Februari 23). People & Stories Wonderful Minangkabau. Retrieved from Wonderful Minangkabau: https://www.wonderfulminangkabau.com/kaba-cindua-mato/
  • Nashrul Aziz, M. (n.d.). Pas Berita Edukasi. Retrieved from Pas Berita: https://pasberita.com/pengertian-ciri-unsur-hikayat
  • PDBI – Hikayat Cindua Mato
Artikel Sebelumnya

Mengenal Tari Api Barru

Artikel Selanjutnya

Belajar Mencintai dan Menghargai Laut dengan Kearifan Lokal

Tidak Ada Komentar

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.