#KodeNusantaraBlog

To Manurung Bainea

Catatan tentang perempuan Makassar, baik yang terekam dalam tradisi tulis seperti yang ada dalam lontaraq maupun dalam tradisi lisan dimulai pada masa terbentuknya Kerajaan Gowa berkisah tentang kehadiran “To Manurunga” atau “To Manurung Bainea.” Masa pemerintahan To Manurunga berlangsung pada 1320-1345 (Limpo, 1995), catatan naskah yang berkisah tentang To Manurung versi Lontaraq Gowa Kuno menceritakan bahwa sebelum datangnya To Manarung, rakyat Gowa hidup secara berkelompok–kelompok tidak dalam satu wilayah, tetapi mendiami 9 kampung yang disebut Kasuwiang Salapanga (Sembilan Kelompok Kaum).

Kasuwiang Salapanga ini terdiri atas Tomboloq, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Jeqneq, Bisei, Kalling dan Seroq, yang masing-masing dipimpin oleh seorang bergelar Gallarrang. Kesembilan Gallarrang ini kemudian membentuk pemerintahan gabungan (federasi) dan menunjuk seorang pemimpin untuk menghimpun mereka di bawah pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Hakim Pemisah). Di bawah sejarah kepemimpinan Paccallaya tidak dapat mengatasi peperangan karena tidak  memiliki pengaruh yang kuat atas anggota persekutuan, yang masing-masing mempunyai hak otonom. Rakyat Gowa tak henti-hentinya berdoa agar dapat mempunyai pemimpin.

Saatnya pun tiba. Pada suatu waktu saat penantian telah sampai pada titik jenuhnya tiba-tiba beberapa orang melihat seberkas cahaya dari atas perlahan-lahan turun ke bawah menuju Takabassia persis di atas bongkahan sebuah batu. Di atas bongkahan batu muncul seorang perempuan cantik memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan. Paccallaya dan Sembilan Kasuwiyang memberinya nama “To Manurung Bainea” atau “To Manurung”, yang berarti orang yang menjelma turun dari atas langit dan tidak diketahui asal usulnya. Seluruh rakyat dari Sembilan wilayah bersama Paccallaya sepakat mengangkatnya sebagai Raja. Di bawah pemerintahan To Manurung kerajaan-kerajaan kecil dalam wilayah Gowa bersatu dan bergabung dalam sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Gowa, yang juga merupakan simbol persatuan orang Makassar di masa itu. Rakyat Gowa hidup dalam keadaan aman tanpa ada lagi bentrok fisik. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam suatu kurun waktu perempuan dapat menjadi “pemersatu” rakyat yang berada dalam kondisi terpecah-belah, dapat memberi semangat perdamaian dan menjadi simbol kepemimpinan.

Hasil kajian Raffles pada 1817 (dalam Pelras, 1985:160) menyatakan bahwa di Sulawesi Selatan perempuan lebih percaya diri daripada yang diharapkan dari peradaban negara-negara lain pada umumnya. Perempuan tidak mengalami penderitaan, kemelaratan atau pekerjaan yang membatasi produktivitas seperti bagian dunia lain. Karya Crawfurd yang berjudul History of java pada 1820 (dalam Pelras, 1985:160) mencatat bahwa di Sulawesi Selatan perempuan tampak tanpa skandal dalam masyarakat (publik). Dia berperan aktif dalam semua bisnis dalam kehidupan mereka berkonsultasi dengan laki-laki untuk semua urusan publik, dan seringkali naik tahta (menjadi raja); juga terlibat ketika pemilihan raja. Kasus mencolok yang dicatat Crawfurd sehubungan perempuan Makassar dapat dikutip sebagai berikut:

Not many day before I saw her,she had presented herself among the warriors of the party drawn out before the enemy, upbraided

Them for their tardiness in the attack.in lofty terms, and demanded a spear, that she might show them an example. Encouraged by her

Exhortations, it appears they went forth, and gained an advantage.


(Crawfurd,History:74, dalam Pelras,1985:164)

Sumber:

ERY ISWARY, Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklor (Makassar: Penerbit Ombak, 2010), hlm 2-4

Info Lanjut:

PDBI – To Manurung Bainea

Artikel Sebelumnya

Si Pitung, Mitos atau Fakta?

Artikel Selanjutnya

Kisah Cinta yang Terhalang Adat dalam Tari Bopureh

Tidak Ada Komentar

Tinggalkan komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.